TAMBANG NIKEL ANCAM KEINDAHAN RAJA AMPAT

Intertaiment Penulis Afriana Artamevia Meylanda
Senin, 9 Juni 2025 - 22:08
Gambar Berita
Winnicode Officials

Raja Ampat, Papua Barat Daya, 09 Juni 2025 – Keindahan Raja Ampat yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia kini menghadapi ancaman serius. Sejumlah perusahaan tambang nikel mulai masuk ke pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, dan Batan Pelei. Aktivitas pertambangan yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir memicu kekhawatiran berbagai pihak, mulai dari masyarakat adat, pegiat lingkungan, hingga pelaku pariwisata.

Raja Ampat adalah salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Terumbu karang, ikan hias, dan biota laut lain menjadi daya tarik wisata yang mendunia dan sumber penghidupan utama masyarakat lokal. Namun, sejak 2020, perluasan izin tambang mencapai hampir 500 hektare, berdasarkan data dari Auriga Nusantara. Dikutip dari Kompas.com

Greenpeace Indonesia melaporkan bahwa hutan tropis di pulau-pulau kecil tersebut mulai ditebang, dan sedimen dari kegiatan tambang mencemari laut di sekitarnya. Hal ini mengancam ekosistem laut serta kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari hasil laut dan pariwisata. Suku Kawei, salah satu komunitas adat terdampak, menyuarakan penolakan keras terhadap tambang. “Kami tidak butuh tambang. Kami butuh laut yang bersih untuk anak cucu kami,” ujar salah satu tokoh adat dalam forum masyarakat adat. Mereka khawatir pembangunan tambang akan merusak lingkungan secara permanen dan menghancurkan budaya lokal yang lekat dengan alam.

Pemerintah sempat menangguhkan sementara beberapa izin pertambangan untuk evaluasi dampak lingkungan. Namun, belum ada langkah konkrit menuju pencabutan izin secara menyeluruh. Padahal, aktivitas eksplorasi dan pembukaan lahan terus berjalan di beberapa lokasi. Ironisnya, nikel dari tambang-tambang ini digunakan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik bagian dari tren global energi bersih. Namun, banyak pihak menilai bahwa hal ini justru menunjukkan paradoks besar. “Tidak bisa disebut transisi hijau jika hutan dan laut dihancurkan,” kata seorang peneliti lingkungan. (Detik.com)

Pelaku wisata lokal, seperti pemandu selam dan operator homestay, juga menyuarakan keresahan. Wisatawan yang datang mulai mempertanyakan keberlanjutan dan kebersihan lingkungan Raja Ampat. Beberapa kawasan yang sebelumnya jernih kini mulai keruh akibat sedimentasi.

Para aktivis mendesak pemerintah untuk lebih tegas melindungi Raja Ampat dengan mencabut izin tambang dan menetapkan wilayah ini sebagai kawasan konservasi yang